PERAN PEREMPUAN DALAM BUDAYA JAWA
Makalah
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata kuliah : Islam
dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : Bapak Rikza Chamimi, M.Si.
Disusun Oleh
ULIN NUHA 113811018
UMMI NUR AZIZAH 113811019
ASROR LUKMANUL HAKIM 113811023
ETIKA BELLA ISLAMI 113811025
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya, semua orang
sepakat bahwa wanita dan laki-laki berbeda. Manakala kita melihat karakteristik
dari masing-masing secara fisik, kita akan dengan mudah membedakannya. Perbedaan
alami yang dikenal dengan perbedaan jenis kelamin sebenarnya hanyalah segala
perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir antara wanita dan laki-laki.
Wanita Jawa sendiri memiliki
peranan yang sangat penting dan berat dalam budaya Jawa. Peran yang
digenggamnya sendiri salah satunya adalah istri dan ibu. Namun, seringkali
seorang istri dikorbankan cintanya oleh suami dengan cara dimadu, atau
istilahnya poligami. Hal ini merupakan pertanyaan, apakah benar dalam poligami
muncul atas dasar cinta?
Budaya Jawa juga mengaitkan
wanita dengan lambang keharmonisan. Yang mana wanita yang berperan sebagai
istri atau ibu harus menjaga rumah tangganya dengan cinta yang seutuhnya.
Ditambah dengan budaya Jawa
negatif yang melahirkan adanya wanita tuna susila yang semenjak dulu kurang
begitu diperhatikan oleh masyarakat dan sekarang harus diadakan penyuluhan
sejak dini.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
budaya Jawa, wanita merupakan lambang dari keharmonisan. Namun pada prakteknya
terjadi penyimpangan-penyimbangan yang sulit untuk di benarkan lagi,
diantaranya :
1)
Apakah peran perempuan sebagai istri bisa dimadu
oleh suaminya?
2)
Apakah dalam budaya Jawa perempuan dijadikan
korban susila?
3)
Apakah budaya Jawa membenarkan adanya budaya
pegorbanan perempuan?
C.
Tujuan Makalah
Makalah ini
bertujuan untuk :
1)
Membahas tentang peran perempuan sebagai istri
yang sebenarnya.
2)
Membahas tentang perempuan yang disagkut pautkan
dengan kesusilaan.
3)
Membahas tentang kearifan budaya Jawa yang
sebenarnya.
II.
PEMBAHASAN
A.
Peran Perempuan Jawa Sebagai Istri
Perempuan selain sebagai individu
(manusia) juga sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dalam konteks budaya
jawa, perempuan sebagai istri memiliki tugas dan persyaratan fisik-psikis dan
sosial yang amat berat.[1]
Sebagaimana contoh tentang idealitas perempuan sebagai istri bagi masyarakat
jawa seperti dikatakan oleh Hariwijaya dalam buku Seks Jawa halaman 66-67 yang
dikutip oleh Drs. Moh. Roqib, M.Ag. “Seorang istri yang dapat disebut berhasil
dalam perkawinan adalah seorang wanita yang pasrah terhadap apa saja yang akan
terjadi pada dirinya.
Walaupun di madu, seorang istri
hendaknya dapat memelihara dirinya agar tetap cantik, bertingkah laku manis,
penuh pengabdian, berbakti, setia, dan taat kepada suaminya. Selain memiliki
sifat-sifat di atas, untuk menjadi wanita berbudi luhur disyaratkan keimanan
yang kuat. Janganlah sampai putus dalam berdoa agar mendapatkan wahyu dan
anugerah dari Tuhan yang Maha Esa. Untuk mencapai kesempurnaan hidup, sebagai
makhluk hidup sosial, seseorang diwajibkan untuk berguru agar mendapatkan
pengetahuan dalam kehidupan, baik secara mikro maupun makro.”
Perempuan dalam budaya Jawa
diibaratkan sebagai bunga. Ia indah dipandang dan selalu memancarkan bau harum
mewangi. Ia adalah ratu yang bertahta dengan agung di dalam rumah tangganya. Serat Yadyasusila menerangkan tiga sifat
wanita sebagai ratu rumah tangga yang baik, yakni merak ati, gemati lalu luluh.
Merak ati dimaknai pandai menjaga
kecantikan lahir batin, pandai bertutur sapa dengan santun, pandai mengatur
pakaian yang pantas, murah senyum, luwes gerak geriknya, dan lumampah anut wirama, ‘bertindak sesuai
irama’. Gemati artinya menunaikan[2]
kewajiban sebagai istri dengan sebaik-baiknya. Sebagai istri, perempuan harus
sebagai perawat rumah tangga dan mengatur keuangan sebaik-baiknya. Ia bertugas
mendidik anak dengan naluri keibuannya yang terasah. Sedang luluh artinya penyabar, tidak keras
kepala, menerima segala masalah.[3]
Deskripsi tugas perempuan sebagai istri
tersebut dalam budaya Jawa dimaksudkan agar istri sebagai manusia selalu
berusaha untuk meraih kebahagiaan. Salah satu upaya untuk meraih kebahagiaan
itu adalah jalan membangun keluarga harmonis. Betapa pentingnya keluarga
harmonis ini, hingga orang Jawa memiliki pepatah, mangan ora mangan kumpul. Artinya, makan tidak makan yang penting
berkumpul. Dalam prinsip ini, kebutuhan “berkumpul” lebih diutamakan daripada
kebutuhan makan. Seks merupakan bagian penting dalam upaya membangun harmoni
keluarga tersebut. Keluarga yang menyepelekan urusan seksual ini akan
tergelincir di tengah perjalanan. Seks yang terarah dan teratur merupakan pesan
yang disampaikan dari khasanah kebudayaan sejak jaman Jawa kuno. Keluarga dan
seks terkait dan saling melengkapi.[4]
B.
Poligami
Poligami sebagai jalan darurat yang
digugat dan akan ditinggalkan, khususnya bagi orang yang memerhatikan betapa
membangun cinta dewasa yang tanpa pamrih berhubungannya, kekuasaan (tahta), dan
kekayaan material (harta). Poligami berdasar cinta dewasa membutuhkan proses
panjang dan tekun untuk mempelajari teori cinta, membuat kesimpulan seakan[5]
mustahil untuk dilakukan. meski poligami mustahil untuk umum, tetapi tetap saja
menjadi alternative dan membuka kemungkinan ada seseorang yang mampu melakukannya.
Harmoni dan cinta tidak pernah
berkambang dalam penindasan dan pemaksaan.pemaksaan apapun dilarang dan harus
dijauhi. Tetapi jika semua terpenuhi yang terwujud kesediaan secara tulus,
meski dalam keterbatasannya sebagai manusia, siapakah yang akan membawa palu
pengadilan untuk mengingkari dan menolaknya? Tugas bersama adalah
mensosialisasikan bagaimana mencintai dengan baik agar sukses dan harmonis
dalam hidup. Tidka ada lagi kekerasan (termasuk kekerasan dalam rumah tangga).
Mencintai dengan tulus untuk kemaslahatan bersama. Poligami[6]
bukanlah sebuah percobaan sia-sia. Ia membutuhkan cinta dan pengertian. Cinta
memiliki logika dan alur tersendiri. Ini juga rahasia cinta. Cinta memang
misterius.[7]
C.
Pandangan Jawa terhadap Perempuan dan Seks
Menurut Hariwijaya pada buku Seks
Jawa Klasik yang dikutip oleh Drs. Moh. Roqib, M.Ag. menjelaskan bahwa.
Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai makhluk indah yang dengan
kecantikannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan. Menurut falsafah Jawa,
perempuan adalah bumi yang subur,[8]
yang siap menumbuhkan tanaman. Perempuan adalah bunga yang indah, menyebarkan
bau harum mewangi dan membuat senang siapa saja yang melihatnya. Wanita ideal
dalam budaya Jawa digambarkan sebagai payandra.
Payandra merupakan lukisan keindahan,
kecantikan, dan kehalusan melalui ibarat.
Membincang seksualitas perempuan Jawa
dimulai dari hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial Jawa
yang erat sangkut pautnya dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan
biologis. Agar tidak menimbulkan pertentangan dengan adat kesopanan, masalah
seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga dna masyarakat Jawa
umumnya, meskipun dalam percakapan banya lelucon mengenai seks. Bahkan seorang
kiai juga sering bercerita tentang seks kepada santri dan ummatnya. Pembicaraan
tentang seks mengalir diantara teman akrab, kawna seprofesi, atau kawan
bermain, dan ada juga yang mendapatkan dari wanita-wanita tuna susila di
warung-warung pinggir jalan.[9]
Mudah ditebak, bagaimana perasaan perempua
pekerja seks apapun sebutannya, bahwa ia merasakan kepedeihan dan keperihan
yang menyayat hati dan perasaannya. Sebutan yang ditempelkan dan stigma sosial
yang melekat padanya sudah cukup membuatnya tersiksa dalam hidupnya.
Pertanyaannya bagaimana jika kondisi
sosial (seperti adat dan budaya) yang membuat perempuan tersebut menjalani
nasib buruk dalam hidupnya sebagai pekerja seks? Atau karena desakan ekonomi
mereka menjual harga dirinya sebagai bagian dari komoditas untuk memnuhi
kebutuhan makan dan hidup mereka. Bagaimana jika perempuan tersebut jatuh ke
lembah hina karena kekuatan politik seperti etnic
clinsing di Bosnia, pekerja seks jaman penjajahan, trafficking, dan semacamnya? Posisi yang memaksanya untuk “menjadi
budka nafsu” dan betapa sulit perempuan itu keluar dari situasi menjemukan
tersebut.
Berikut adalah sebuah contoh
bagaimana budaya telah “mengikat” dengan amat kuat terhadap seorang perempuan
“ronggeng” yang hidup dalam komunitas desa yang memiliki budaya ronggeng turun
temurun. Dengan bumbu “warisan leluhur” dan penyedap kekhawatiran masyarakat[10]
desa akan mendapat nasib buruk “kualat” dari danyang desa Ki Sacamenggala, Srintil seorang gadis desa harus
mengorbankan masa kecil, keperawanan, dan keharmonisan hidupnya untuk
dipersembahkan demi “memangku adat” Dukuh Paruk. Ahmad Thohari dengan
mengesankan, menceritakan perempuan Ronggeng
Dukuh Paruk kepada pembaca.
D.
Kearifan Lokal Budaya Jawa
Sebagaimana disebutkan bahwa
kebudayaan merupakan unsur pengorganisasian antara individu dan membentuknya
menjadi satu kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia di dalam
lingkungan hidupnya. Cirri kebudayaan adalah penyesuaian manusia kepada
lingkungan hidupnya dalam rangka mempertahankan hidupnya sesuai dengan kondisi
menurut pengalaman atau tradisinya merupakan yang terbaik. Tradisi free sex yang dalam literature Jawa dan
sikap akomodatif terhadap bentuk kesalahan tradisi lokal mengakibatkan pemegang
politik dan kebijakan di Jawa akan membiarkan kasus demi kasus seksual sebagai
bumbu kehidupan bagi masyarakat Jawa.
Kebudayaan Jawa berakar dari di
Kraton dan berkembang di Yogyakarta dan Solo. Free sex menjalar dan menjadi informasi rutin yang tidak
mengagetkan. Terkait dengan[11]
kerarifan lokal (local wisdom),
masyarakat Jawa mengenal beberapa kata kunci di antaranya adalah ngana ya ngana neng aja ngana, meski
begitu, tapi yang jangan seperti itu. Demikian ungkapan orang Jawa. Ungkapan
itu biasanya disampaikan saat terjadi sesuatu yang dianggap tidak seseuai
dengan tata karma. Wong kok ora duwe
perasaan. Demikian kata singkat yang sering diucapkan oleh orang Jawa
terhadap orang yang tidak punya tepa
selira, tidak punya pengertian tentang bagaimana menempatkan diri secara
bijak. Orang yang suka nggugu sak karepe
dewe, orang yang suka semaunya sendiri.
Sekali lagi, perasaan sangat
diperhatikan di masyarakat Jawa dalam rangka menciptakan harmonitas sosial.
Masyarakat Jawa yang berperasaan halus, berusaha untuk menjaga berinteraksi
sosial yang baik, saling membantu, membagi rezeki, mengerti dan menghayati
perasaan orang lain (tepaselira).
Oleh sebab itu, anak-anak selalu diajarkan untuk berusaha mendekati sifat-sifat
itu. Meskipun terjadi pelanggaran moral dan susila oleh orang disekitarnya atau
pemimpinnya, tetap saja orang Jawa memberikan toleransinya dan kesempatan untuk
memperbaiki diri. Tetapi ada juga komunitas Jawa yang memberlakukan hukuman
terhadap pelaku amoral dengan amat keras semisal diarak bugil dan diisolasikan
dalam pergaulan masyarakat.
E.
Budaya Yang Perlu Di Tanggulangi
Untuk memperbaiki kehidupan sosial,
maka harus dimulai dari perbaikan individu-individu yang menjadi anggota
masyarakat.[12]
Maka setiap manusia dituntut agar dapat berperilaku dan berbicara yang
mendukung terwujudnya interaksi individu yang harmonis, sehingga tidak
menimbulkan konflik sosial.[13]
Terkait dengan pelanggaran terhadap
norma hubungan seksual yang dilakukan oleh anggota DPR dan penyanyi[14]
dan kontroversi poligami yang dilakukan oleh da’i atau kiai atau siapapun juga
terlepas dari status sosial politik, dan ekonomi, dalam konteks budaya Jawa
harus dilakukan kontrol dan amar ma’ruf
nahi munkar dengan tetap menggunakan bahasa dan tata karma Jawa yang
didasarkan pada niatan mulia dan dengan cara yang baik sehingga yang
bersangkutan bisa menjadi baik atau lebih baik tanpa meruntuhkan budaya dan
martabat saudaranya sendiri. Ekspose secara besar-besaran dan membabi buta
apalagi menghakimi akan berdampak negatif dan jauh dari prinsip edukatif.
Setisp keputusan yang diambil oleh individu ada pertimbangan dan latar belakang
historisnya. Klaim dan penghakiman emosional akan meruntuhkan kemanusiaan yang
akhir-akhir ini semakin berat untuk ditegakkan.
Seks bebas memiliki akar sejarah
dalam budaya Jawa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kehidupan free sex yang melanda Yogyakarta dan
juga kota-kota besar lain di Jawa ditanggapi secara dingin oleh komunitas Jawa
termasuk oleh pendidikan yang berbasis keagamaan dan PTAI. Sikap permisif ini
bisa disebabkan oleh budaya Jawa yang akomodatif, tepa selira dan semacamnya yang
dimaknai pasif-statis sehingga berdampak negatif. Semestinya jargon dan ajaran
yang sudah menjadi budaya Jawa tersebut dimaknai positif dan progresif sehingga
memunculkan sikap hidup dan dinamis dan mengambil sikap tegas terhadap berbagai
bentuk pelanggaran hukum dan moral.
Memerhatikan aspek kesejarahan dan
bahasa Jawa, pemberantasan free sex
akan menemukan nilai kejawaannya jika dilakukan dengan pendekatan yang
bijaksana, yaitu meletakkan budaya sebagai dasar untuk mengubah dan[15]
memperbaiki sehingga tidak terkesan menggurui dan memancing konflik. Untuk itu,
diperlukan perencanaan program pembebasan dan pendidikan yang pelaksaannya
melibatkan berbagai komponen dan menggunakan idiom-idiom Jawa yang sudah mereka
kenal adiluhung. Jika pendekatan budaya ini dilakukan, maka perbaikan akan
diterima dan diakui. “menang tanpo
ngasorake” atau menang tanpa sifat merendahkan.
Sistem pemberantasan penyakit
masyarakat harus dibentuk secara bertahap agar ketegasan sikap bisa diperoleh
dengan tetap mendasarkan pada budaya adiluhung Jawa. Undang-undang anti
pornografi diantaranya menjadi media menyehatkan bangsa dari seks bebas.[16]
Kebudayaan Jawa yang pada dasarnya
besifat momot, sejuk dan non sektaris seperti itu jelas akan menunjang semangat
gotong-royong dan semangat kerukunan yang amat diperlukan dalam memupuk
persatuan dan kesatuan bangsa. Akar kebudayaan Jawa yang semacam itu telah
menyatu dengan Pancasila sehingga tidak perlu ada kekhawatiran bahwa
pengembangan kebudayaan daerah (khususnya Jawa) akan berdampak negatif terhadap
pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. [17]
Cara lain yang bisa digunakan adalah
dengan melalui jalur agama. Yang mana jalur ini memliki nilai religius yang
sangat kuat dengan didasari oleh landasan landasan yang dapat dinalar.
Seperti yang dikatakan
koentjaraningrat yang dikutip oleh sri suhandjati. Dikatakan bahwa nilai budaya
Jawa Islam yang “religius magis” itu telah tertanam begitu kuat dalam jiwa
masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui warisan yang turun temurun di
lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu masuk menghunjam dalam wilayah
emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat
Jawa Islam yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya.[18]
Mereka juga mencerminkan, pada tingkat
yang jauh lebih dalam lagi, bagi orang-orang Jawa, saripati yang paling utama
mengenai pertarungan antara yang baik dan yang buruk, yang berlangsung di dalam
jiwa manusia serta sesuatu pandangan mistik ke dalam rahasia-rahasia yang
tersembunyi di balik kehidupan manusia di permukaan bumi ini,[19]
III.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas. Dapat
disimpulkan bahwa perempuan dalam budaya Jawa memiliki peran yang cukup besar
dna penting dalam peradaban budaya Jawa. Karena perempuan merupakan symbol
keharmonisan, meski telah terjadi diskriminasi antara hak dan kewajiban kepada
perempuan.
Acap kali perempuan sering menjadi
korban dalam praktek sosial yang ada di Jawa. Misalnya poligami yang mana
mengatas namakan cinta. Padahal jika dilihat dari segi prakteknya, poligami
dilakukan semata-mata untuk kepentingan kaum lalki-laki saja. Adapun jarang
sekali orang yang melakukan poligami atas dasar cinta dan tanpa ada
diskriminasi terhadap perempuan.
Budaya Jawa sendiri juga membenarkan
adanya budaya negatif tentang penjualan perempuan. Dan hal ini perlu adanya
gerakan yang signifikan dan penanganan semenjak dini dalam mendidik anak-anak.
Sehingga, dalam kebudayaan Jawa
memang perlu dikaji lebih dalam tentang prakteknya. Karena sampai sekarang
perempuan sering kali menjadi korban penindasan yang diatas namakan budaya.
IV.
PENUTUP
Demikian,
makalah ini dibuat. Apa bila ada kesalahan pebulis dan kawan-kawan mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Karena kebenaran hanya ada pada Allah dan manusia
tempatnya lupa dan salah.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan kawan-kawan pada khususnya dan untuk
pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Qorib, Moh., Harmoni Dalam Budaya
Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Jender), STAIN Purwokerto Press,
Purwokerto, 2007.
Amin, M. Darori, Islam &
Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000.
Sukri, Sri Suhandjati, Ijtihad
Progresif Yasadipura II, Gama Media, Yogyakarta, 2004
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa Dalam
Pemerintahan & Pembangunan, Dahara Prize, Semarang, 1997.
Carey, Peter, Ekologi Kebudayaan Jawa
& Kitab Kedung Kebo, Pustaka Azet, Jakarta, 1986.
BIODATA PENULIS
- NAMA : ASROR LUKMANUL HAKIM
NIM :
113811023
TTL :
KETAPANG, 28 OKTOBER 1993
ALAMAT SEKARANG : NGALIYAN SEMARANG
NO HP :
085868432724
- NAMA : ULIN NUHA
NIM :
113811018
TTL : PATI,
14 APRIL 1992
ALAMAT SEKARANG : JL
SENDANG UTARA RAYA NO:38A GEMAH,
PEDURUNGAN, SEMARANG
NO HP :
085729617720
- NAMA : UMMI NUR AZIZAH
NIM :
113811019
TTL :
MAGELANG, 29 DESEMBER 1992
ALAMAT SEKARANG : WONOLOPO, MIJEN, SEMARANG
NO HP :
085743631924
- NAMA : ETIKA BELLA ISLAMI
NIM :
113811025
TTL :
PEKALONGAN, 19 SEPTEMBER 1993
ALAMAT SEKARANG : PERUM
BANK NIAGA BLOK B5, NGALIYAN, SEMARANG
NO HP : 085742141210
[1] Drs. Moh. Roqib, M.Ag., Harmoni
Dalam Budaya Jawa, STAIN Purwokerto Press, Purwokerto, 2007. Hlm 70
[2] Ibid. Hlm 71
[3] Ibid. Hlm 72
[4] Ibid. Hlm 73
[5] Ibid. Hlm 215
[6] Drs. Moh. Roqib, M.Ag., Harmoni Dalam Budaya Jawa, STAIN
Purwokerto Press, Purwokerto, 2007. Hlm 216
[7] Ibid. Hlm 217
[8] Ibid. Hlm 129
[9] Ibid. Hlm 130
[10] Ibid. Hlm 150
[11] Drs. Moh. Roqib, M.Ag., Harmoni
Dalam Budaya Jawa, STAIN Purwokerto Press, Purwokerto, 2007. Hlm 146
[12] Dr. Hj. Sri Suhandjati Sukri, Ijtihad
Progresif Yasadipua II, Gama Media, Yogyakarta, 2004. Hlm 94
[13] Ibid. Hlm 95
[14] Drs. Moh. Roqib, M.Ag., Harmoni
Dalam Budaya Jawa, STAIN Purwokerto Press, Purwokerto, 2007. Hlm 147
[15] Ibid. Hlm 148
[16] Ibid. Hlm 149
[17] Ir. Sujamto, Refleksi Budaya
Jawa Dalam Pemerintahan dan Pembangunan , Dahara Prize, Semarang, 1997. Hal
37.
[18] Drs. H. Darori Amin, MA., Islam
& Budaya Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000. Hal 281
[19] Dr. Peter Carey, Ekologi
Kebudayaan Jawa & Kitab Kedung Kebo, Pustaka Azet, Jakarta, 1986. Hal
17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar