Pengikut

Senin, 30 Mei 2016

PERAN PEREMPUAN DALAM BUDAYA JAWA


PERAN PEREMPUAN DALAM BUDAYA JAWA


Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : Bapak Rikza Chamimi, M.Si.


 
 


Disusun Oleh
ULIN NUHA                                  113811018
UMMI NUR AZIZAH                      113811019
ASROR LUKMANUL HAKIM     113811023
ETIKA BELLA ISLAMI                113811025




FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011

             I.      PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Pada dasarnya, semua orang sepakat bahwa wanita dan laki-laki berbeda. Manakala kita melihat karakteristik dari masing-masing secara fisik, kita akan dengan mudah membedakannya. Perbedaan alami yang dikenal dengan perbedaan jenis kelamin sebenarnya hanyalah segala perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir antara wanita dan laki-laki.
Wanita Jawa sendiri memiliki peranan yang sangat penting dan berat dalam budaya Jawa. Peran yang digenggamnya sendiri salah satunya adalah istri dan ibu. Namun, seringkali seorang istri dikorbankan cintanya oleh suami dengan cara dimadu, atau istilahnya poligami. Hal ini merupakan pertanyaan, apakah benar dalam poligami muncul atas dasar cinta?
Budaya Jawa juga mengaitkan wanita dengan lambang keharmonisan. Yang mana wanita yang berperan sebagai istri atau ibu harus menjaga rumah tangganya dengan cinta yang seutuhnya.
Ditambah dengan budaya Jawa negatif yang melahirkan adanya wanita tuna susila yang semenjak dulu kurang begitu diperhatikan oleh masyarakat dan sekarang harus diadakan penyuluhan sejak dini.

B.        Rumusan Masalah
Dalam budaya Jawa, wanita merupakan lambang dari keharmonisan. Namun pada prakteknya terjadi penyimpangan-penyimbangan yang sulit untuk di benarkan lagi, diantaranya :
1)            Apakah peran perempuan sebagai istri bisa dimadu oleh suaminya?
2)            Apakah dalam budaya Jawa perempuan dijadikan korban susila?
3)            Apakah budaya Jawa membenarkan adanya budaya pegorbanan perempuan?

C.       Tujuan Makalah
Makalah ini bertujuan untuk :
1)            Membahas tentang peran perempuan sebagai istri yang sebenarnya.
2)            Membahas tentang perempuan yang disagkut pautkan dengan kesusilaan.
3)            Membahas tentang kearifan budaya Jawa yang sebenarnya.

          II.      PEMBAHASAN
A.       Peran Perempuan Jawa Sebagai Istri
Perempuan selain sebagai individu (manusia) juga sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dalam konteks budaya jawa, perempuan sebagai istri memiliki tugas dan persyaratan fisik-psikis dan sosial yang amat berat.[1] Sebagaimana contoh tentang idealitas perempuan sebagai istri bagi masyarakat jawa seperti dikatakan oleh Hariwijaya dalam buku Seks Jawa halaman 66-67 yang dikutip oleh Drs. Moh. Roqib, M.Ag. “Seorang istri yang dapat disebut berhasil dalam perkawinan adalah seorang wanita yang pasrah terhadap apa saja yang akan terjadi pada dirinya.
Walaupun di madu, seorang istri hendaknya dapat memelihara dirinya agar tetap cantik, bertingkah laku manis, penuh pengabdian, berbakti, setia, dan taat kepada suaminya. Selain memiliki sifat-sifat di atas, untuk menjadi wanita berbudi luhur disyaratkan keimanan yang kuat. Janganlah sampai putus dalam berdoa agar mendapatkan wahyu dan anugerah dari Tuhan yang Maha Esa. Untuk mencapai kesempurnaan hidup, sebagai makhluk hidup sosial, seseorang diwajibkan untuk berguru agar mendapatkan pengetahuan dalam kehidupan, baik secara mikro maupun makro.”
Perempuan dalam budaya Jawa diibaratkan sebagai bunga. Ia indah dipandang dan selalu memancarkan bau harum mewangi. Ia adalah ratu yang bertahta dengan agung di dalam rumah tangganya. Serat Yadyasusila menerangkan tiga sifat wanita sebagai ratu rumah tangga yang baik, yakni merak ati, gemati lalu luluh. Merak ati dimaknai pandai menjaga kecantikan lahir batin, pandai bertutur sapa dengan santun, pandai mengatur pakaian yang pantas, murah senyum, luwes gerak geriknya, dan lumampah anut wirama, ‘bertindak sesuai irama’. Gemati artinya menunaikan[2] kewajiban sebagai istri dengan sebaik-baiknya. Sebagai istri, perempuan harus sebagai perawat rumah tangga dan mengatur keuangan sebaik-baiknya. Ia bertugas mendidik anak dengan naluri keibuannya yang terasah. Sedang luluh artinya penyabar, tidak keras kepala, menerima segala masalah.[3]
Deskripsi tugas perempuan sebagai istri tersebut dalam budaya Jawa dimaksudkan agar istri sebagai manusia selalu berusaha untuk meraih kebahagiaan. Salah satu upaya untuk meraih kebahagiaan itu adalah jalan membangun keluarga harmonis. Betapa pentingnya keluarga harmonis ini, hingga orang Jawa memiliki pepatah, mangan ora mangan kumpul. Artinya, makan tidak makan yang penting berkumpul. Dalam prinsip ini, kebutuhan “berkumpul” lebih diutamakan daripada kebutuhan makan. Seks merupakan bagian penting dalam upaya membangun harmoni keluarga tersebut. Keluarga yang menyepelekan urusan seksual ini akan tergelincir di tengah perjalanan. Seks yang terarah dan teratur merupakan pesan yang disampaikan dari khasanah kebudayaan sejak jaman Jawa kuno. Keluarga dan seks terkait dan saling melengkapi.[4]

B.        Poligami
Poligami sebagai jalan darurat yang digugat dan akan ditinggalkan, khususnya bagi orang yang memerhatikan betapa membangun cinta dewasa yang tanpa pamrih berhubungannya, kekuasaan (tahta), dan kekayaan material (harta). Poligami berdasar cinta dewasa membutuhkan proses panjang dan tekun untuk mempelajari teori cinta, membuat kesimpulan seakan[5] mustahil untuk dilakukan. meski poligami mustahil untuk umum, tetapi tetap saja menjadi alternative dan membuka kemungkinan ada seseorang yang mampu melakukannya.
Harmoni dan cinta tidak pernah berkambang dalam penindasan dan pemaksaan.pemaksaan apapun dilarang dan harus dijauhi. Tetapi jika semua terpenuhi yang terwujud kesediaan secara tulus, meski dalam keterbatasannya sebagai manusia, siapakah yang akan membawa palu pengadilan untuk mengingkari dan menolaknya? Tugas bersama adalah mensosialisasikan bagaimana mencintai dengan baik agar sukses dan harmonis dalam hidup. Tidka ada lagi kekerasan (termasuk kekerasan dalam rumah tangga). Mencintai dengan tulus untuk kemaslahatan bersama. Poligami[6] bukanlah sebuah percobaan sia-sia. Ia membutuhkan cinta dan pengertian. Cinta memiliki logika dan alur tersendiri. Ini juga rahasia cinta. Cinta memang misterius.[7]

C.       Pandangan Jawa terhadap Perempuan dan Seks
Menurut Hariwijaya pada buku Seks Jawa Klasik yang dikutip oleh Drs. Moh. Roqib, M.Ag. menjelaskan bahwa. Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai makhluk indah yang dengan kecantikannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan. Menurut falsafah Jawa, perempuan adalah bumi yang subur,[8] yang siap menumbuhkan tanaman. Perempuan adalah bunga yang indah, menyebarkan bau harum mewangi dan membuat senang siapa saja yang melihatnya. Wanita ideal dalam budaya Jawa digambarkan sebagai payandra. Payandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan, dan kehalusan melalui ibarat.
Membincang seksualitas perempuan Jawa dimulai dari hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial Jawa yang erat sangkut pautnya dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan biologis. Agar tidak menimbulkan pertentangan dengan adat kesopanan, masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga dna masyarakat Jawa umumnya, meskipun dalam percakapan banya lelucon mengenai seks. Bahkan seorang kiai juga sering bercerita tentang seks kepada santri dan ummatnya. Pembicaraan tentang seks mengalir diantara teman akrab, kawna seprofesi, atau kawan bermain, dan ada juga yang mendapatkan dari wanita-wanita tuna susila di warung-warung pinggir jalan.[9]
Mudah ditebak, bagaimana perasaan perempua pekerja seks apapun sebutannya, bahwa ia merasakan kepedeihan dan keperihan yang menyayat hati dan perasaannya. Sebutan yang ditempelkan dan stigma sosial yang melekat padanya sudah cukup membuatnya tersiksa dalam hidupnya.
Pertanyaannya bagaimana jika kondisi sosial (seperti adat dan budaya) yang membuat perempuan tersebut menjalani nasib buruk dalam hidupnya sebagai pekerja seks? Atau karena desakan ekonomi mereka menjual harga dirinya sebagai bagian dari komoditas untuk memnuhi kebutuhan makan dan hidup mereka. Bagaimana jika perempuan tersebut jatuh ke lembah hina karena kekuatan politik seperti etnic clinsing di Bosnia, pekerja seks jaman penjajahan, trafficking, dan semacamnya? Posisi yang memaksanya untuk “menjadi budka nafsu” dan betapa sulit perempuan itu keluar dari situasi menjemukan tersebut.
Berikut adalah sebuah contoh bagaimana budaya telah “mengikat” dengan amat kuat terhadap seorang perempuan “ronggeng” yang hidup dalam komunitas desa yang memiliki budaya ronggeng turun temurun. Dengan bumbu “warisan leluhur” dan penyedap kekhawatiran masyarakat[10] desa akan mendapat nasib buruk “kualat” dari danyang desa Ki Sacamenggala, Srintil seorang gadis desa harus mengorbankan masa kecil, keperawanan, dan keharmonisan hidupnya untuk dipersembahkan demi “memangku adat” Dukuh Paruk. Ahmad Thohari dengan mengesankan, menceritakan perempuan Ronggeng Dukuh Paruk kepada pembaca.

D.       Kearifan Lokal Budaya Jawa
Sebagaimana disebutkan bahwa kebudayaan merupakan unsur pengorganisasian antara individu dan membentuknya menjadi satu kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia di dalam lingkungan hidupnya. Cirri kebudayaan adalah penyesuaian manusia kepada lingkungan hidupnya dalam rangka mempertahankan hidupnya sesuai dengan kondisi menurut pengalaman atau tradisinya merupakan yang terbaik. Tradisi free sex yang dalam literature Jawa dan sikap akomodatif terhadap bentuk kesalahan tradisi lokal mengakibatkan pemegang politik dan kebijakan di Jawa akan membiarkan kasus demi kasus seksual sebagai bumbu kehidupan bagi masyarakat Jawa.
Kebudayaan Jawa berakar dari di Kraton dan berkembang di Yogyakarta dan Solo. Free sex menjalar dan menjadi informasi rutin yang tidak mengagetkan. Terkait dengan[11] kerarifan lokal (local wisdom), masyarakat Jawa mengenal beberapa kata kunci di antaranya adalah ngana ya ngana neng aja ngana, meski begitu, tapi yang jangan seperti itu. Demikian ungkapan orang Jawa. Ungkapan itu biasanya disampaikan saat terjadi sesuatu yang dianggap tidak seseuai dengan tata karma. Wong kok ora duwe perasaan. Demikian kata singkat yang sering diucapkan oleh orang Jawa terhadap orang yang tidak punya tepa selira, tidak punya pengertian tentang bagaimana menempatkan diri secara bijak. Orang yang suka nggugu sak karepe dewe, orang yang suka semaunya sendiri.
Sekali lagi, perasaan sangat diperhatikan di masyarakat Jawa dalam rangka menciptakan harmonitas sosial. Masyarakat Jawa yang berperasaan halus, berusaha untuk menjaga berinteraksi sosial yang baik, saling membantu, membagi rezeki, mengerti dan menghayati perasaan orang lain (tepaselira). Oleh sebab itu, anak-anak selalu diajarkan untuk berusaha mendekati sifat-sifat itu. Meskipun terjadi pelanggaran moral dan susila oleh orang disekitarnya atau pemimpinnya, tetap saja orang Jawa memberikan toleransinya dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Tetapi ada juga komunitas Jawa yang memberlakukan hukuman terhadap pelaku amoral dengan amat keras semisal diarak bugil dan diisolasikan dalam pergaulan masyarakat.

E.        Budaya Yang Perlu Di Tanggulangi
Untuk memperbaiki kehidupan sosial, maka harus dimulai dari perbaikan individu-individu yang menjadi anggota masyarakat.[12] Maka setiap manusia dituntut agar dapat berperilaku dan berbicara yang mendukung terwujudnya interaksi individu yang harmonis, sehingga tidak menimbulkan konflik sosial.[13]
Terkait dengan pelanggaran terhadap norma hubungan seksual yang dilakukan oleh anggota DPR dan penyanyi[14] dan kontroversi poligami yang dilakukan oleh da’i atau kiai atau siapapun juga terlepas dari status sosial politik, dan ekonomi, dalam konteks budaya Jawa harus dilakukan kontrol dan amar ma’ruf nahi munkar dengan tetap menggunakan bahasa dan tata karma Jawa yang didasarkan pada niatan mulia dan dengan cara yang baik sehingga yang bersangkutan bisa menjadi baik atau lebih baik tanpa meruntuhkan budaya dan martabat saudaranya sendiri. Ekspose secara besar-besaran dan membabi buta apalagi menghakimi akan berdampak negatif dan jauh dari prinsip edukatif. Setisp keputusan yang diambil oleh individu ada pertimbangan dan latar belakang historisnya. Klaim dan penghakiman emosional akan meruntuhkan kemanusiaan yang akhir-akhir ini semakin berat untuk ditegakkan.
Seks bebas memiliki akar sejarah dalam budaya Jawa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kehidupan free sex yang melanda Yogyakarta dan juga kota-kota besar lain di Jawa ditanggapi secara dingin oleh komunitas Jawa termasuk oleh pendidikan yang berbasis keagamaan dan PTAI. Sikap permisif ini bisa disebabkan oleh budaya Jawa yang akomodatif, tepa selira dan semacamnya yang dimaknai pasif-statis sehingga berdampak negatif. Semestinya jargon dan ajaran yang sudah menjadi budaya Jawa tersebut dimaknai positif dan progresif sehingga memunculkan sikap hidup dan dinamis dan mengambil sikap tegas terhadap berbagai bentuk pelanggaran hukum dan moral.
Memerhatikan aspek kesejarahan dan bahasa Jawa, pemberantasan free sex akan menemukan nilai kejawaannya jika dilakukan dengan pendekatan yang bijaksana, yaitu meletakkan budaya sebagai dasar untuk mengubah dan[15] memperbaiki sehingga tidak terkesan menggurui dan memancing konflik. Untuk itu, diperlukan perencanaan program pembebasan dan pendidikan yang pelaksaannya melibatkan berbagai komponen dan menggunakan idiom-idiom Jawa yang sudah mereka kenal adiluhung. Jika pendekatan budaya ini dilakukan, maka perbaikan akan diterima dan diakui. “menang tanpo ngasorake” atau menang tanpa sifat merendahkan.
Sistem pemberantasan penyakit masyarakat harus dibentuk secara bertahap agar ketegasan sikap bisa diperoleh dengan tetap mendasarkan pada budaya adiluhung Jawa. Undang-undang anti pornografi diantaranya menjadi media menyehatkan bangsa dari seks bebas.[16]
Kebudayaan Jawa yang pada dasarnya besifat momot, sejuk dan non sektaris seperti itu jelas akan menunjang semangat gotong-royong dan semangat kerukunan yang amat diperlukan dalam memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Akar kebudayaan Jawa yang semacam itu telah menyatu dengan Pancasila sehingga tidak perlu ada kekhawatiran bahwa pengembangan kebudayaan daerah (khususnya Jawa) akan berdampak negatif terhadap pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. [17]
Cara lain yang bisa digunakan adalah dengan melalui jalur agama. Yang mana jalur ini memliki nilai religius yang sangat kuat dengan didasari oleh landasan landasan yang dapat dinalar.
Seperti yang dikatakan koentjaraningrat yang dikutip oleh sri suhandjati. Dikatakan bahwa nilai budaya Jawa Islam yang “religius magis” itu telah tertanam begitu kuat dalam jiwa masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui warisan yang turun temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu masuk menghunjam dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa Islam yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya.[18]
Mereka juga mencerminkan, pada tingkat yang jauh lebih dalam lagi, bagi orang-orang Jawa, saripati yang paling utama mengenai pertarungan antara yang baik dan yang buruk, yang berlangsung di dalam jiwa manusia serta sesuatu pandangan mistik ke dalam rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik kehidupan manusia di permukaan bumi ini,[19]


       III.      KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas. Dapat disimpulkan bahwa perempuan dalam budaya Jawa memiliki peran yang cukup besar dna penting dalam peradaban budaya Jawa. Karena perempuan merupakan symbol keharmonisan, meski telah terjadi diskriminasi antara hak dan kewajiban kepada perempuan.
Acap kali perempuan sering menjadi korban dalam praktek sosial yang ada di Jawa. Misalnya poligami yang mana mengatas namakan cinta. Padahal jika dilihat dari segi prakteknya, poligami dilakukan semata-mata untuk kepentingan kaum lalki-laki saja. Adapun jarang sekali orang yang melakukan poligami atas dasar cinta dan tanpa ada diskriminasi terhadap perempuan.
Budaya Jawa sendiri juga membenarkan adanya budaya negatif tentang penjualan perempuan. Dan hal ini perlu adanya gerakan yang signifikan dan penanganan semenjak dini dalam mendidik anak-anak.
Sehingga, dalam kebudayaan Jawa memang perlu dikaji lebih dalam tentang prakteknya. Karena sampai sekarang perempuan sering kali menjadi korban penindasan yang diatas namakan budaya.

       IV.      PENUTUP
Demikian, makalah ini dibuat. Apa bila ada kesalahan pebulis dan kawan-kawan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena kebenaran hanya ada pada Allah dan manusia tempatnya lupa dan salah.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan kawan-kawan pada khususnya dan untuk pembaca pada umumnya.






DAFTAR PUSTAKA

Qorib, Moh., Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Jender), STAIN Purwokerto Press, Purwokerto, 2007.

Amin, M. Darori, Islam & Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000.

Sukri, Sri Suhandjati, Ijtihad Progresif Yasadipura II, Gama Media, Yogyakarta, 2004

Sujamto, Refleksi Budaya Jawa Dalam Pemerintahan & Pembangunan, Dahara Prize, Semarang, 1997.

Carey, Peter, Ekologi Kebudayaan Jawa & Kitab Kedung Kebo, Pustaka Azet, Jakarta, 1986.






























BIODATA PENULIS

  1. NAMA                                    : ASROR LUKMANUL HAKIM
NIM                                        : 113811023
TTL                                         : KETAPANG, 28 OKTOBER 1993
ALAMAT SEKARANG       : NGALIYAN SEMARANG
NO HP                                    : 085868432724

  1. NAMA                                    : ULIN NUHA
NIM                                        : 113811018
TTL                                         : PATI, 14 APRIL 1992
ALAMAT SEKARANG       : JL SENDANG UTARA RAYA NO:38A     GEMAH, PEDURUNGAN, SEMARANG
NO HP                                    : 085729617720

  1. NAMA                                    : UMMI NUR AZIZAH
NIM                                        : 113811019
TTL                                         : MAGELANG, 29 DESEMBER 1992
ALAMAT SEKARANG       : WONOLOPO, MIJEN, SEMARANG
NO HP                                    : 085743631924

  1. NAMA                                    : ETIKA BELLA ISLAMI
NIM                                        : 113811025
TTL                                         : PEKALONGAN, 19 SEPTEMBER 1993
ALAMAT SEKARANG       : PERUM BANK NIAGA BLOK B5, NGALIYAN, SEMARANG
NO HP                                    : 085742141210



[1] Drs. Moh. Roqib, M.Ag., Harmoni Dalam Budaya Jawa, STAIN Purwokerto Press, Purwokerto, 2007. Hlm 70
[2] Ibid. Hlm 71
[3] Ibid. Hlm 72
[4] Ibid. Hlm 73
[5] Ibid. Hlm 215
[6]  Drs. Moh. Roqib, M.Ag., Harmoni Dalam Budaya Jawa, STAIN Purwokerto Press, Purwokerto, 2007. Hlm 216
[7] Ibid. Hlm  217
[8] Ibid. Hlm 129
[9] Ibid. Hlm 130
[10] Ibid. Hlm 150
[11] Drs. Moh. Roqib, M.Ag., Harmoni Dalam Budaya Jawa, STAIN Purwokerto Press, Purwokerto, 2007. Hlm 146
[12] Dr. Hj. Sri Suhandjati Sukri, Ijtihad Progresif Yasadipua II, Gama Media, Yogyakarta, 2004. Hlm  94
[13] Ibid. Hlm  95
[14] Drs. Moh. Roqib, M.Ag., Harmoni Dalam Budaya Jawa, STAIN Purwokerto Press, Purwokerto, 2007. Hlm 147
[15] Ibid. Hlm 148
[16] Ibid. Hlm 149
[17] Ir. Sujamto, Refleksi Budaya Jawa Dalam Pemerintahan dan Pembangunan , Dahara Prize, Semarang, 1997. Hal 37.
[18] Drs. H. Darori Amin, MA., Islam & Budaya Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000. Hal 281
[19] Dr. Peter Carey, Ekologi Kebudayaan Jawa & Kitab Kedung Kebo, Pustaka Azet, Jakarta, 1986. Hal 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar